Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) melakukan ritual budaya yang diberi nama “Mangarata-ratai” di hutan adat mereka Sabtu, (6/10/2018).
Informasi itu disampaikan Staf Humas Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rindu Capah yang turut dalam kegiatan itu dalam relis persnya kepada medanbisnisdaily.com, Minggu (7/10/2018).
Kegiatan “Mangarata-ratai” tersebut untuk menjajaki kembali hutan mereka dengan mendirikan pilar yang bertuliskan “Tanah ini milik Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria”. Istilah “Mangarata-ratai” sering digunakan ketika ada perihal kesepakatan sebelumnya, namun hampir lupa-lupa ingat.
Rindu mengatakan, istilah tersebut sangat luas artinya. Namun dalam konteks ini, "Mangarata-ratai" ini ditujukan terhadap kesepakatan antara dua belah pihak, yakni antara perusahaan PT. Toba Pulp Lestari (PT TPL) dengan Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria.
"Kesepakatan itu tentang adanya MoU, yakni TPL harus menghargai tanaman masyarakat dan PT TPL tidak bisa lagi menanami pohon eukaliptus ketika sudah panen," ucap salah seorang Pengurus Komunitas Adat Pargamanan-Bintang Maria, Ridwan Simbolon, didampingi pengurus lainnya, Raja Sitanggang, Manuturi Sitanggang, dan Eva Junita Lumban Gaol.
Kegiatan "Mangarata-ratai" sekaligus juga "memanggil" ingatan mereka tentang sejarah wilayah adat dan kekayaan pengetahuan lokal di antara hamparan hutan. Juga untuk membangkitkan rasa saling menjaga untuk merawat penghidupan yang bersumber dari ketersediaan hutan dan bentang alam lainnya.
Sementara itu, tambah Rindu, berdasarkan data dan arsip sejarah yang dikumpulkan lembaga pendamping mereka, Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), awalnya leluhur mereka datang dari Sigumbang, Tapanuli Utara kurang lebih 125 tahun yang lalu, pada masa penjajahan Belanda.
Marga yang pertama sekali datang adalah Sitanggang dan Simbolon beserta Marga Lumban Gaol yang merupakan boru Sihagojongan. Di tempat itulah mereka bertemu dengan keturunan Partuan Nahoda Raja (Raja Sionom Hudon). Pertemuan tersebut membuat mereka martarombo (bertutur) dan mereka pun saling paham bahwa nenek moyang Pargamanan Bintang Maria masih satu puak marga dengan Partuan Nahoda Raja.
“Seiring berjalanannya waktu, dinamika sosial di Pargamanan-Bintang Maria menghasilkan patik bahwa Dusun Pargamanan Bintang Maria tidak bisa diperjual-belikan," tambah Ridwan Simbolon.
“Kami anak-cucunya tidak berhak menjualnya atau menghianati sumpah nenek moyang kami. Kegiatan hari ini adalah salah satu dari sebagian yang terkecil titah nenek moyang. Hari ini kami memberi satu pilar atau satu tanda yang bertuliskan ‘Tanah ini milik Masyarakat Adat Pargamanan- Bintang Maria’, dan telah kami buktikan dengan peta wilayah adat," tambah Ridwan.
Informasi tambahan masyarakat Adat-Bintang Maria pada bulan Mei 2017 pernah menerima kunjungan Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) untuk melakukan verifikasi dan validasi data terkait keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat masyarakat.
Kemudian pada bulan Oktober 2017, perwakilan masyarakat adat Bintang-Maria, bersama 10 kelompok lainnya yang didampingi KSPPM mendatangi KLHK untuk mempercepat upaya penyelesaian konflik mereka dengan PT TPL.
“Sejauh ini kami sudah berusaha menyurati Menteri Kehutanan. Bukan hanya menyuratinya bahkan langsung audiensi dengan para pemerintah maupun para menteri. Untuk melengkapi sejarah-sejarah tersebut, hari ini kami masyarakat ataupun cucu dari pada leluhur kami, telah membuktikan dan menelusuri kembali tapal batas yang telah diberikan nenek moyang. Maka dengan ini kami minta, kami mohon dengan hormat kepada pemerintah kiranya pemerintah, Bapak Presiden maupun Ibu Menteri kiranya sudilah untuk memberikan SK untuk pembebesan tanah ulayat kami. Kami mohon juga kepada pemerintah menghormati dan menghargai apa yang kami lakukan pada hari ini," ujarnya.